KULINER KITA YANG MALANG
Oleh: Theresia Indriyani
Hampir semua orang Indonesia mengenal tempe dan tahu. Orang-orang desa atau orang-orang kota biasa memakan tempe dan tahu sebagai lauk-pauk. Juga bisa menjadi kudapan atau camilan. Gorengan tempe-tahu biasa dijajakan di pinggir pinggir jalan. Tempe-tahu sudah menjadi khas makanan Indonesia, sudah turun-temurun, dan asli Indonesia. Sedihnya, meski banyak diproduksi dan dimakan orang Indonesia, tapi tempe-tahu sekarang bukanlah hak milik Indonesia lagi.
Kabarnya, hak paten tahu telah dimiliki Thailand dan tempe menjadi milik Jepang. Bukan hanya tahu dan tempe yang luput dari genggaman Indonesia, rendang padang dan soto betawi juga telah diakui Malaysia, bahkan sate terasi milik Singapura. Jika ini benar adanya, maka orang Indonesia klak tak bisa lagi sesukanya menyebut dan menjual SOTO-BETAWI karena betawi hanya pernah ada di Indonesia.
Kuliner telah mudahnya dimiliki bangsa lain, tapi kini Batik juga telah diakui Malaysia. Maka diperkirakan, orang Indonesia akan membayar pajak atas kekayaan alamnya sendiri. Pemerintah telah bersitegang memperjuangkan hak hak tersebut, disisi lain orang Indonesia malah tergila gila dengan kuliner import. Seperti Sushi, burger, pizza dan lainya. Bahkan kedelai untuk bahan dasar tahu dan tempe juga harus didatangkan dari luar negeri.
Kita memang cenderung kurang menghargai produk dalam negeri, maka sudah seharusnya, kita sebagai bangsa yang mencintai sejarah, dan menghargai warisan nenek moyang harus berjaga agar pecel Lele, gudeg, rujak cingur, nasi uduk, lontong balap, coto makasar dan lainnya menjadi hak paten negara lain.